Hidup bisa teratur hanya dengan agama? — Surat kepada seorang kawan
Hamid yang baik,
BETULKAH kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan agama? Apakah
kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu rupa menjadi tertib dengan
hukum-hukum dan peraturan yang mereka buat sendiri berdasarkan akal,
pengalaman, dan tahap kematangan mental-intelektual mereka sendiri?
Apakah jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya
melalui agama? Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama
sama sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan manusia?
Beberapa kalangan dalam agama, terutama Islam, mengajukan sebuah
logika yang menarik. Bukankah, tanya mereka, Tuhan lebih tahu tinimbang
manusia? Bukankah Tuhan Maha Tahu tentang segala-galanya? Dengan
demikian, bukankah hukum-hukum dan peraturan yang diberikan oleh Tuhan
lebih baik ketimbang hukum yang dibuat manusia sendiri?
Sejak lama saya beregelut dengan pertanyaan ini, dan perkenankan saya
mengajukan sebuah refleksi berikut ini. Jawaban saya ini mungkin saja
terasa “keras” di telinga sebagian kalangan beragama; tetapi saya harus
mengatakannya. Sekurang-kurangnya apa yang saya sampaikan ini bisa
menjadi semacam “pengimbang” bagi pendapat yang umum diikuti oleh umat
Islam saat ini.
Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan: sama sekali tidak benar
bahwa jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan hidup secara etis
hanya melalui agama. Seseorang yang tak memeluk agama apapun di dunia
ini bisa menjadi manusia yang baik dan hidup secara bermoral.
Bahkan dalam pandangan sebagian kaum Mu’tazilah, kelompok rasionalis
yang sudah lahir dalam sejarah Islam sejak seribu tahun lebih yang lalu,
sumber moralitas pertama-tama adalah akal manusia. Wahyu hanya datang
belakangan untuk mengkonfirmasi moralitas yang sudah diketahui oleh akal
manusia itu.
Saya duga orang beragama memiliki asumsi tersembunyi: jika seseorang
tak mengikuti ajaran agama apapun, alias agnostik atau ateis, yang
bersangkutan akan menjadi orang yang secara moral bejat. Misalnya: yang
bersangkutan suka mencuri harta orang lain, menyetubuhi setiap perempuan
yang ia jumpai di jalan secara seenaknya seperti binatang, mengganggu
orang lain tanpa peduli, membunuhi manusia seenak udelnya sendiri, dsb.
Walhasil, orang yang tak beragama atau anti-agama akan dengan sendirinya bertingkah-laku seenaknya tanpa ikatakan apapun.
Asumsi seperti ini, mohon maaf, adalah asumsi yang bodoh sekali dan
tak melihat dunia sekitar. Orang beragama pura-pura tak tahu bahwa tanpa
dalil-dalil agama sekalipun, manusia menciptakan aturan yang kompleks
untuk mengatur kehidupan mereka agar tidak kacau. Ribuan hukum
diciptakan di dunia ini tanpa keterlibatan agama atau wahyu.
Ambillah contoh yang sangat sederhana dari kehidupan modern sekarang.
Setelah ditemukannya pesawat terbang oleh Wilbur dan Orville Right pada
1903, muncullah konvensi, hukum, dan peraturan internasional yang
sengaja diciptakan untuk menjamin tegaknya industri penerbangan yang
akan menjaga keselamatan penumpang.
Di bawah PBB, misalnya, ada sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan sejumah regulasi dan “code of conduct” dalam penerbangan internasional, yaitu ICAO (International Civil Aviation Organization) yang bermarkas di Montreal, Kanada.
Berdasarkan hukum dan regulasi internasional inilah, misalnya, Uni
Eropa melarang perusahaan penerbangan nasional kita, Garuda, untuk
memasuki wilayah Eropa. Larangan ini juga berlaku untuk beberapa
penerbangan dari negeri-negeri lain, seperti Angola. Uni Eropa
mengeluarkan larangan ini pada bulan Juni 2008 yang lalu dan berlaku
efektif sejak 6 Juli 2008.
Hukum dan peraturan itu sama sekali tidak lahir dari agama, dan
ditulis bukan dengan merujuk pada ayat-ayat Kitab Suci agama tertentu.
Tokoh-tokoh agama sama sekali tak terlibat sedikitpun dalam perumusan
dan pembuatan peraturan ini. Tak ada seorang fikih pun yang terlibat di
sini, sebab saat fikih ditulis oleh ulama Islam ratusan tahun yang lalu,
teknologi dan industri penerbangan belum muncul.
Jika anda mengelola perusahaan penerbangan, maka yang disebut “hidup
bermoral” dalam konteks usaha anda itu adalah mengikuti peraturan
internasional dalam bidang penerbangan itu. Semua orang, baik beragama
atau tidak, diikat oleh moralitas tersebut. Jia ia melanggar moralitas
itu, ia akan dikeluarkan dari komunitas penerbangan internasional, sebab
akan membahayakan keselamatan penumpang.
Taruhlah ada seorang pilot yang kebetulan juga seorang agnostik atau
ateis yang tak percaya pada agama apapun, apakah dia langsung akan
menyetir pesawat terbang dengan seenaknya saja tanpa mengikuti peraturan
internasional? Kan tidak toh?
Ribuan peraturan dan “code of conduct” diciptakan oleh manusia modern
untuk membuat hidup mereka teratur. Peraturan ini dibuat tanpa merujuk
sedikitpun pada ajaran agama. Peraturan ini bisa kita temukan dalam
semua bidang kehidupan manusia modern.
Kalau anda hidup di Amerika dan kebetulan anda adalah penggemar
mancing-memancing, anda akan menjumpai aturan yang begitu ketat sampai
ke hal yang sederhana itu. Anda, misalnya, tak boleh memancing ikan yang
beratnya kurang dari standar tertentu yang ditentukan oleh hukum negara
bagian setempat.
Apakah aturan memancing itu dibuat manusia dengan merujuk pada
ayat-ayat dalam Kitab Suci agama tertentu? Jelas tidak. Aturan ini
dibuat semata-mata karena pertimbangan kepentingan umum, karena akal
manusia menghendaki kehidupan yang baik.
Contoh sederhana ini bisa diperluas ke bidang-bidang lain. Intinya:
moralitas agama memang memainkan peranan dalam mengatur kehidupan
manusia dalam batas-batas tertentu; tetapi untuk sebagian besar,
kehidupan manusia diatur oleh hukum dan peraturan sekuler yang dibuat
oleh manusia sendiri tanpa merujuk pada agama. Peraturan agama hanyalah
setitik saja di tengah “lautan” aturan yang dibuat oleh manusia.
Lihatlah parlemen negeri-negeri demokrasi di seluruh dunia yang
memproduksi ribuan hukum setiap tahun guna mengatur kehidupan manusia
agar tertib, agar hak-hak seseorang tidak dilanggar oleh orang lain.
Khazanah fikih Islam tak ada apa-apanya dibdaning dengan khazanah hukum
sekuler yang terus berkembang makin kompleks itu. Khazanah hukum sekuler
jauh lebih kaya ketimbang hukum agama manapun, termasuk Islam.
Orang beragama terlalu “ge-er” sekali manakala beranggapan bahwa
tanpa aturan agama, hidup manusia akan kacau-balau. Mereka beranggapan
bahwa manusia begitu jahatnya sehingga kalau tak diatur oleh hukum agama
akan menjadi binatang buas. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, asumsi
ini salah besar. Manusia, dengan atau tanpa agama, akan menciptakan
aturan-aturan yang kompleks untuk membuat hidupnya teratur.
Salah satu cara yang mudah untuk mengetahui apakah manusia hidup
teratur atau tidak sangatlah sederhana, yaitu apakah ia mengikuti hukum
atau tidak. Makin masyarakat menjadi “law abiding society“,
masyarakat yang taat hukum, maka makin tertib dan teratur pula
masyarakat itu. Sekarang kita lihat sendiri, mana masyarakat yang paling
tertib karena taat hukum, karena hukum ditegakkan dengan baik: apakah
masyarakat sekuler seperti kita lihat di negeri-negeri Barat, atau
masyarakat religius, misalnya, di negeri Muslim?
Marilah kita lihat dengan sederhana saja soal lalu-lintas di kota
sebuah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu Jakarta.
Bandingkan saja kota Jakarta dengan kota di sebuah negeri sekuler,
taruhlah kota New York yang tak kalah padat dengan Jakarta. Dari dua
kota itu, mana yang lebih teratur?
Sudah tentu tidak semua kota di dunia dengan mayoritas penduduk
Muslim kacau balau seperti Jakarta, Islamabad, Karachi atau Kairo. Kuala
Lumpur, misalnya, sangat teratur dan tak kalah dengan kota-kota di
negeri maju yang lain. Tetapi jika kita tengok gambar secara umum,
kota-kota negeri-negeri yang maju di Eropa yang sekuler itu jauh lebih
indah, teratur, taat hukum, dan relatif terkontrol tingkat polusinya
ketimbang kota-kota di negeri-negeri Muslim.
Saya akan bertanya kepada umat beragama, terutama Islam: apakah kota
negeri-negeri sekuler kacau balau dan kehidupan masyarakat di sana
hancur berantakan karena mereka tak mengikuti hukum agama?
Ada salah paham yang berkembang luas di kalangan sebagian kalangan
Islam, yaitu bahwa liberalisme sama saja dengan hidup bebas tanpa aturan
(tentu maksudnya aturan agama). Pandangan semacam ini hanya bisa
dipercaya oleh orang-orang yang tak mempelajari dengan baik bagaimana
praktek sosial dalam masyarakat liberal.
Kalau kita tengok negeri-negeri dengan tradisi demokrasi-liberal yang
mapan, kita akan tahu bahwa di sana hukum jauh lebih ditegakkan
ketimbang di negeri-negeri otoriter (termasuk di dalamnya negeri-negeri
Islam sendiri).
Mereka yang hidup di negeri-negeri seperti itu akan tahu bagaimana
ketatnya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sekedar gambaran
sederhana: jika anda hidup di Amerika Serikat, lalu tengah malam
tetangga anda melakukan keributan yang mengganggu tidur anda, maka anda
bisa menelpon 911 dan memanggil polisi untuk mengingatkan tetangga anda
itu.
Jika anda mengendarai mobil, anda tak bisa memarkir di sembarang
tempat. Jika anda memarkir mobil yang disediakan untuk orang-orang
“dis-abled” (orang cacat, maaf memakai istilah ini), anda bisa terkena
denda yang sangat besar, sekitar US $200 (hampir dua juta rupiah).
Kehidupan sosial begitu tertib di negeri-negeri liberal yang maju,
persis karena adanya “rule of law”. Kebalikan dari pandangan sebagian
kalangan Islam selama ini, negara demokrasi-liberal adalah sebuah negara
dengan ciri-ciri tertentu, antara lain “rule of law“, artinya kedaulatan hukum, bukan negeri yang bebas dari hukum.
Perbedaan mendasar antara negara demokrasi-liberal denga negeri
syariat seperti dikehendaki oleh sebagian kalangan Islam adalah sebagai
berikut. Dalam negara demokrasi-liberal, hukum dibuat berdasarkan proses
politik yang disebut dengan “deliberasi publik”, atau perdebatan
publik. Sebelum sebuah hukum ditetapkan oleh parleman melalui proses
yang disebut “enactment“, ia harus diuji terlebih dulu melalui perdebatan publik.
Ini berbeda dengan hukum syariat yang dirumuskan secara “sepihak”
oleh oligarki sarjana ahli hukum agama (disebut dengan “fuqaha”, bentuk
jamak dari kata “faqih”). Hukum syariat seperti kita kenal dalam Islam
mempunyai ciri khas yang lebih elitis ketimbang hukum sekuler dalam
negara demokrasi modern.
Beda yang lain: hukum sekuler bisa dipersoalkan dan diperdebatkan
tanpa yang bersangkutan khawatir dituduh kafir atau murtad. Ini berbeda
dengan hukum syariat yang mengkleim berasal dari Tuhan sehingga siapa
saja yang mencoba mempersoalkannya bisa terkena tuduhan kafir. Hukum
syariat rentan menjadi lahan subur untuk tumbuhnya otoritarianisme
politik (meskipun tidak selalu demikian), persis karena kleimnya sebagai
“hukum suci” yang secara umum tak boleh diperdebatkan, terutama
aspek-aspek di sana yang dianggap “qath’i” atau pasti.
MASALAH yang selalu menghantui pikiran orang beragama, terutama
Islam, adalah masalah seks dan perempuan. Orang beragama berasumsi bahwa
tanpa hukum dan moralitas agama, kehidupan seksual manusia akan kacau
balau. Apakah asumsi ini benar?
Saya khawatir, umat Islam diam-diam mempunyai anggapan bahwa jika
perempuan tak memakai pakaian yang menutup aurat, maka dia akan dimangsa
oleh laki-laki, seperti ayam betina dimangsa oleh ayam jago di
sembarang tempat.
Sementara itu, aurat perempuan, menurut hukum Islam yang “standar”,
adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan
demikian, perempuan yang berpakaian sopan dan rapi tetapi tidak menutup
seluruh tubuhnya (misalnya rambutnya masih tampak kelihatan), dia
dianggap sebagai tak menutup aurat. Seorang imam dari Australia yang
berasal dari Mesir pernah melontarkan statemen beberapa waktu lalu bahwa
seorang perempuan yang tak menutup seluruh tubuhya, “head-to-toe” , sama dengan daging yang tak ditutup. Maksudnya, rawan dirubung “lalat”.
Mari kita tinjau sekali lagi fakta-fakta empiris di lapangan. Apakah betul demikian?
Tengok saja kehidupan sehari-hari di kota Jakarta, tak usah terlalu
jauh ke negeri normal seperti Amerika atau Eropa Barat. Lihatlah para
perempuan yang bekerja di kantor-kantor, baik pemerintah atau swasta.
Sebagian besar mereka mamakai baju biasa, bukan baju penutup aurat
seperti dikehendaki oleh hukum Islam. Apakah perempuan-perempuan itu
langsung menjadi “mangsa” laki-laki? Apakah kehidupan seksual manusia
Jakarta langsung kacau-balau?
Meskipun tingkat keamanan di kota Jakarta tak sebaik di Boston,
misalnya, tetapi kita menyaksikan sendiri bagaimana perempuan bisa
berjalan dengan aman di tempat-tempat umum, walaupun tak memakai baju
yang menutup seluruh aurat. Memang ada insiden di sana-sini, misalnya
pemerkosaan. Tetapi secara umum, ruang publik di kota Jakarta dan
kota-kota lain sangat aman bagi perempuan, walaupun mereka tak memakai
pakaian yang sesuai dengan tuntutan hukum Islam mengenai aurat.
Saya sudah pernah menulis bahwa asumsi sebagian umat Islam begitu
buruknya sehingga memandang laki-laki seolah-olah sebagai “binatang
buas” yang haus seks, seolah-olah jika melihat perempuan yang tak
menutup aurat akan langsung menerkamnya dan ingin bersetubuh dengannya “on the spot“. Sebegitu burukkah asumsi umat beragama yang konon menganggap manusia sebagai “citra Tuhan”, imago Dei (dalam Quran ditegaskan “tsumma sawwahu wa nafakha fihi min ruhihi” QS 32:9)?
Jangan salah paham. Isteri saya memakai jilbab, karena, berdasarkan
tradisi di mana ia tumbuh, jilbab dianggap sebagai pakaian yang bisa
menjaga martabat perempuan. Tetapi isteri saya tidak menganggap bahwa
pakaian-pakaian lain di luar jilbab tidak bisa menjaga kehormatan
perempuan dan kepantasan publik.
DENGAN menulis ini semua bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap
seorang Muslim. Tetapi saya mencoba menjadi seorang beragama yang rendah
hati. Saya beragama, tetapi tak menganggap bahwa agama adalah
satu-satunya jalan menuju kehidupan yang tertib. Oleh karena itu, saya
menghormati orang-orang yang agnostik dan ateis, dan tak beranggapan
bahwa manusia yang agnostik akan dengan sendirinya menjadi manusia
bejat.
Saya berteman dengan banyak orang-orang yang agnostik: mereka tak
kalah humanisnya dengan manusia beragama. Mereka manusia yang
bermartabat dan menghormati manusia lain. Bahkan dalam banyak hal,
mereka jauh lebih humanis ketimbang manusia beragama.
Bagaimana anda bisa menjelaskan tingkah-laku orang yang konon
beragama tetapi menyerang secara fisik, membunuhi, dan mempersekusi
orang-orang yang berbeda pandangan dan keyakinan seperti dilakukan oleh
orang-orang beragama, sebagaimana kita baca dalam sejarah Kristen dan
Islam selama ini?
Yang menarik, hanya di negeri sekulerlah semua agama dan sekte
dijamin dengan bebas. Semua sekte dan mazhab bisa mekar dengan bebas di
tanah Amerika, misalnya. Sementara di negeri-negeri yang konon
“relijius” seperti Indonesia, hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah,
misalnya, justru ditindas dengan seenaknya oleh orang-orang yang mengaku
beragama.
Saya harus menambahkan catatan sebagai “caveat” untuk surat
saya ini. Istilah “agama” di sini saya pakai dalam konteks yang
terbatas, yaitu agama sebagaimana ditafsirkan oleh orang-orang bigot,
fanatik, dan totaliter.
Saya ingin menutup surat ini dengan mengatakan bahwa setiap bentuk
“bigotry”, fanatisme, dan totalitarianisme adalah jahat dan berlawanan
dengan akal sehat manusia, entah sumbernya dari agama atau non-agama.
Totalitarianisme dan fanatisme agama sama saja bahanya dengan
totalitarianisme sekuler seperti dipraktekkan oleh Nazi dan sistem
totaliter di Uni Soviet dulu. Di mata saya, kaum bigot dan totaliter di
mana-mana sama saja: mereka adalah ancaman bagi manusia.
Mohon maaf jika surat saya ini terlalu berkepanjangan dan membosankan.[]