Selasa, 20 Desember 2011

SUNNAH ROSULLULLAH

Tidur dengan Posisi Miring ke sebalah Kanan

Dari al-Barra` bin Azib, Rasulullah Muhammad saw pernah bersabda, “Apabila kamu hendak tidur,maka berwudhulah (dengan sempurna) seperti kamu berwudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah di atas sisi tubuhmu yang kanan”
“Berbaringlah di atas rusuk sebelah kananmu.” (HR. Al-Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)
a. Mengistirahatkan otak sebelah kiri
Secara anatomis, otak manusia terbagi menjadi 2 bagian kanan dan kiri. Bagian kanan adalah otak yang mempersarafi organ tubuh sebelah kiri dan sebaliknya. Umumnya ummat muslim menggunakan organ tubuh bagian kanan sebagai anggota tubuh yang dominan dalam beraktifitas seperti makan, memegang dan lainnya. Dengan tidur pada posisi sebelah kanan, maka otak bagian kiri yang mempersarafi segala aktiftas organ tubuh bagian kanan akan terhindar dari bahaya yang timbul akibat sirkulasi yang melambat saat tidur/diam. Bahaya tersebut meliputi pengendapan bekuan darah, lemak , asam sisa oksidasi, dan peningkatan kecepatan atherosclerosis atau penyempitan pembuluh darah. Sehingga jika seseorang beresiko terkena stroke, maka yang beresiko adalah otak bagian kanan, dengan akibat kelumpuhan pada sebelah kiri (bagian yang tidak dominan).
b. Mengurangi beban jantung.
Posisi tidur kesebelah kanan yang rata memungkinkan cairan tubuh ( darah )terdistribusi merata dan terkonsentrasi di sebelah kanan ( bawah ). Hal ini akan menyebabkan beban aliran darah yang masuk dan keluar jantung lebih rendah. Dampak posisi ini adalah denyut jantung menjadi lebih lambat, tekanan darah juga akan menurun. Kondisi ini akan membantu kualitas tidur.
c. Mengistirahatkan lambung.
Lambung manusia berbentuk seperti tabung berbentuk koma dengan ujung katup keluaran menuju usus menghadap kearah kanan bawah. Jika seorang tidur kesebelah kiri maka proses pengeluaran chime ( makanan yang telah dicerna oleh lambung dan bercampur asam lambung ) akan sedikit terganggu, hal ini akan memperlambat proses pengosongan lambung. Hambatan ini pada akhirnya akan meningkatkan akumulasi asam yang akan menyebabkan erosi dinding lambung. Posisi ini juga akan menyebabkan cairan usus yang bersifat basa bias masuk balik menuju lambung dengan akibat erosi dinding lambung dekat pylorus.
d. Meningkatkan pengosongan kandung empedu, pankreas.
Adanya aliran chime yang lancar akan menyebabkan keluaran cairan empedu juga meningkat, hal ini akan mencegah pembentukan batu kandung empedu. Keluaran getah pancreas juga akan meningkat dengan posisi mirin ke kanan.
e. Meningkatkan waktu penyerapan zat gizi.
Saat tidur pergerakan usus menigkat. Dengan posisi sebelah kanan, maka perjalanan makann yang telah tercerna dan siap di serap akan menjadi lebih lama, hal ini disebabkan posisi usus halus hingga usus besar ada dibawah. Waktu yang lamam selamat tidur memungkinkan penyerapan bias optimal.
f.Merangsang buang air besar (BAB)
Dengan mtidur miring ke sebelah kanan , proses pengisian usus besar sigmoid ( sebelum anus ) akan lebih cepat penuh, jika sudah penuh akan merangsang gerak usus besar diikuti relaksasi dari otot anus sehingga mudah buang air Besar.
g. Mengisitirahatkan kaki kiri
Pada orang dengan pergerakan kanan, secara ergonomis guna menyeimbangkan posisi saat beraktifitas cenderung menggunakan kaki kiri sebagai pusat pembebanan. Sehingga kaki kiri biasanya cenderung lebih merasa pegal dari kanan, apalgi kaki posisi paling bawah dimana aliran darah balik cenderung lebih lambat. Jika tidur miring kanan , maka pengosongan vena kaki kiri akan lebih cepat sehingga rasa pegal lebih cepat hilang. Dari uraian diatras tampak banyak manfaat tidur dengan posisi miring. Mudah-mudahan uraian tersebut dapat membawa manfaat bagi umat dalam mengamalkan salah satu sunnah nabi.
Sumber : Kitab Shohih Al Bukhori, Kitab Shohih Muslim dan http://anandira.multiply.com/journal...iKmaTnyA_TiduR

Senin, 19 Desember 2011

Hidup bisa teratur hanya dengan agama? — Surat kepada seorang kawan

Hamid yang baik,
BETULKAH kehidupan manusia bisa teratur hanya dengan agama? Apakah kehidupan manusia tidak mungkin dibuat begitu rupa menjadi tertib dengan hukum-hukum dan peraturan yang mereka buat sendiri berdasarkan akal, pengalaman, dan tahap kematangan mental-intelektual mereka sendiri?
Apakah jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan etis hanya melalui agama? Apakah moralitas yang berasal dari sumber di luar agama sama sekali tak bisa menjadi landasan untuk mengatur kehidupan manusia?
Beberapa kalangan dalam agama, terutama Islam, mengajukan sebuah logika yang menarik. Bukankah, tanya mereka, Tuhan lebih tahu tinimbang manusia? Bukankah Tuhan Maha Tahu tentang segala-galanya? Dengan demikian, bukankah hukum-hukum dan peraturan yang diberikan oleh Tuhan lebih baik ketimbang hukum yang dibuat manusia sendiri?
Sejak lama saya beregelut dengan pertanyaan ini, dan perkenankan saya mengajukan sebuah refleksi berikut ini. Jawaban saya ini mungkin saja terasa “keras” di telinga sebagian kalangan beragama; tetapi saya harus mengatakannya. Sekurang-kurangnya apa yang saya sampaikan ini bisa menjadi semacam “pengimbang” bagi pendapat yang umum diikuti oleh umat Islam saat ini.
Pertama-tama, perkenankan saya mengatakan: sama sekali tidak benar bahwa jalan satu-satunya menjadi manusia bermoral dan hidup secara etis hanya melalui agama. Seseorang yang tak memeluk agama apapun di dunia ini bisa menjadi manusia yang baik dan hidup secara bermoral.
Bahkan dalam pandangan sebagian kaum Mu’tazilah, kelompok rasionalis yang sudah lahir dalam sejarah Islam sejak seribu tahun lebih yang lalu, sumber moralitas pertama-tama adalah akal manusia. Wahyu hanya datang belakangan untuk mengkonfirmasi moralitas yang sudah diketahui oleh akal manusia itu.
Saya duga orang beragama memiliki asumsi tersembunyi: jika seseorang tak mengikuti ajaran agama apapun, alias agnostik atau ateis, yang bersangkutan akan menjadi orang yang secara moral bejat. Misalnya: yang bersangkutan suka mencuri harta orang lain, menyetubuhi setiap perempuan yang ia jumpai di jalan secara seenaknya seperti binatang, mengganggu orang lain tanpa peduli, membunuhi manusia seenak udelnya sendiri, dsb.
Walhasil, orang yang tak beragama atau anti-agama akan dengan sendirinya bertingkah-laku seenaknya tanpa ikatakan apapun.
Asumsi seperti ini, mohon maaf, adalah asumsi yang bodoh sekali dan tak melihat dunia sekitar. Orang beragama pura-pura tak tahu bahwa tanpa dalil-dalil agama sekalipun, manusia menciptakan aturan yang kompleks untuk mengatur kehidupan mereka agar tidak kacau. Ribuan hukum diciptakan di dunia ini tanpa keterlibatan agama atau wahyu.
Ambillah contoh yang sangat sederhana dari kehidupan modern sekarang. Setelah ditemukannya pesawat terbang oleh Wilbur dan Orville Right pada 1903, muncullah konvensi, hukum, dan peraturan internasional yang sengaja diciptakan untuk menjamin tegaknya industri penerbangan yang akan menjaga keselamatan penumpang.
Di bawah PBB, misalnya, ada sebuah lembaga yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan sejumah regulasi dan “code of conduct” dalam penerbangan internasional, yaitu ICAO (International Civil Aviation Organization) yang bermarkas di Montreal, Kanada.
Berdasarkan hukum dan regulasi internasional inilah, misalnya, Uni Eropa melarang perusahaan penerbangan nasional kita, Garuda, untuk memasuki wilayah Eropa. Larangan ini juga berlaku untuk beberapa penerbangan dari negeri-negeri lain, seperti Angola. Uni Eropa mengeluarkan larangan ini pada bulan Juni 2008 yang lalu dan berlaku efektif sejak 6 Juli 2008.
Hukum dan peraturan itu sama sekali tidak lahir dari agama, dan ditulis bukan dengan merujuk pada ayat-ayat Kitab Suci agama tertentu. Tokoh-tokoh agama sama sekali tak terlibat sedikitpun dalam perumusan dan pembuatan peraturan ini. Tak ada seorang fikih pun yang terlibat di sini, sebab saat fikih ditulis oleh ulama Islam ratusan tahun yang lalu, teknologi dan industri penerbangan belum muncul.
Jika anda mengelola perusahaan penerbangan, maka yang disebut “hidup bermoral” dalam konteks usaha anda itu adalah mengikuti peraturan internasional dalam bidang penerbangan itu. Semua orang, baik beragama atau tidak, diikat oleh moralitas tersebut. Jia ia melanggar moralitas itu, ia akan dikeluarkan dari komunitas penerbangan internasional, sebab akan membahayakan keselamatan penumpang.
Taruhlah ada seorang pilot yang kebetulan juga seorang agnostik atau ateis yang tak percaya pada agama apapun, apakah dia langsung akan menyetir pesawat terbang dengan seenaknya saja tanpa mengikuti peraturan internasional? Kan tidak toh?
Ribuan peraturan dan “code of conduct” diciptakan oleh manusia modern untuk membuat hidup mereka teratur. Peraturan ini dibuat tanpa merujuk sedikitpun pada ajaran agama. Peraturan ini bisa kita temukan dalam semua bidang kehidupan manusia modern.
Kalau anda hidup di Amerika dan kebetulan anda adalah penggemar mancing-memancing, anda akan menjumpai aturan yang begitu ketat sampai ke hal yang sederhana itu. Anda, misalnya, tak boleh memancing ikan yang beratnya kurang dari standar tertentu yang ditentukan oleh hukum negara bagian setempat.
Apakah aturan memancing itu dibuat manusia dengan merujuk pada ayat-ayat dalam Kitab Suci agama tertentu? Jelas tidak. Aturan ini dibuat semata-mata karena pertimbangan kepentingan umum, karena akal manusia menghendaki kehidupan yang baik.
Contoh sederhana ini bisa diperluas ke bidang-bidang lain. Intinya: moralitas agama memang memainkan peranan dalam mengatur kehidupan manusia dalam batas-batas tertentu; tetapi untuk sebagian besar, kehidupan manusia diatur oleh hukum dan peraturan sekuler yang dibuat oleh manusia sendiri tanpa merujuk pada agama. Peraturan agama hanyalah setitik saja di tengah “lautan” aturan yang dibuat oleh manusia.
Lihatlah parlemen negeri-negeri demokrasi di seluruh dunia yang memproduksi ribuan hukum setiap tahun guna mengatur kehidupan manusia agar tertib, agar hak-hak seseorang tidak dilanggar oleh orang lain. Khazanah fikih Islam tak ada apa-apanya dibdaning dengan khazanah hukum sekuler yang terus berkembang makin kompleks itu. Khazanah hukum sekuler jauh lebih kaya ketimbang hukum agama manapun, termasuk Islam.
Orang beragama terlalu “ge-er” sekali manakala beranggapan bahwa tanpa aturan agama, hidup manusia akan kacau-balau. Mereka beranggapan bahwa manusia begitu jahatnya sehingga kalau tak diatur oleh hukum agama akan menjadi binatang buas. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, asumsi ini salah besar. Manusia, dengan atau tanpa agama, akan menciptakan aturan-aturan yang kompleks untuk membuat hidupnya teratur.
Salah satu cara yang mudah untuk mengetahui apakah manusia hidup teratur atau tidak sangatlah sederhana, yaitu apakah ia mengikuti hukum atau tidak. Makin masyarakat menjadi “law abiding society“, masyarakat yang taat hukum, maka makin tertib dan teratur pula masyarakat itu. Sekarang kita lihat sendiri, mana masyarakat yang paling tertib karena taat hukum, karena hukum ditegakkan dengan baik: apakah masyarakat sekuler seperti kita lihat di negeri-negeri Barat, atau masyarakat religius, misalnya, di negeri Muslim?
Marilah kita lihat dengan sederhana saja soal lalu-lintas di kota sebuah negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, yaitu Jakarta. Bandingkan saja kota Jakarta dengan kota di sebuah negeri sekuler, taruhlah kota New York yang tak kalah padat dengan Jakarta. Dari dua kota itu, mana yang lebih teratur?
Sudah tentu tidak semua kota di dunia dengan mayoritas penduduk Muslim kacau balau seperti Jakarta, Islamabad, Karachi atau Kairo. Kuala Lumpur, misalnya, sangat teratur dan tak kalah dengan kota-kota di negeri maju yang lain. Tetapi jika kita tengok gambar secara umum, kota-kota negeri-negeri yang maju di Eropa yang sekuler itu jauh lebih indah, teratur, taat hukum, dan relatif terkontrol tingkat polusinya ketimbang kota-kota di negeri-negeri Muslim.
Saya akan bertanya kepada umat beragama, terutama Islam: apakah kota negeri-negeri sekuler kacau balau dan kehidupan masyarakat di sana hancur berantakan karena mereka tak mengikuti hukum agama?
Ada salah paham yang berkembang luas di kalangan sebagian kalangan Islam, yaitu bahwa liberalisme sama saja dengan hidup bebas tanpa aturan (tentu maksudnya aturan agama). Pandangan semacam ini hanya bisa dipercaya oleh orang-orang yang tak mempelajari dengan baik bagaimana praktek sosial dalam masyarakat liberal.
Kalau kita tengok negeri-negeri dengan tradisi demokrasi-liberal yang mapan, kita akan tahu bahwa di sana hukum jauh lebih ditegakkan ketimbang di negeri-negeri otoriter (termasuk di dalamnya negeri-negeri Islam sendiri).
Mereka yang hidup di negeri-negeri seperti itu akan tahu bagaimana ketatnya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sekedar gambaran sederhana: jika anda hidup di Amerika Serikat, lalu tengah malam tetangga anda melakukan keributan yang mengganggu tidur anda, maka anda bisa menelpon 911 dan memanggil polisi untuk mengingatkan tetangga anda itu.
Jika anda mengendarai mobil, anda tak bisa memarkir di sembarang tempat. Jika anda memarkir mobil yang disediakan untuk orang-orang “dis-abled” (orang cacat, maaf memakai istilah ini), anda bisa terkena denda yang sangat besar, sekitar US $200 (hampir dua juta rupiah).
Kehidupan sosial begitu tertib di negeri-negeri liberal yang maju, persis karena adanya “rule of law”. Kebalikan dari pandangan sebagian kalangan Islam selama ini, negara demokrasi-liberal adalah sebuah negara dengan ciri-ciri tertentu, antara lain “rule of law“, artinya kedaulatan hukum, bukan negeri yang bebas dari hukum.
Perbedaan mendasar antara negara demokrasi-liberal denga negeri syariat seperti dikehendaki oleh sebagian kalangan Islam adalah sebagai berikut. Dalam negara demokrasi-liberal, hukum dibuat berdasarkan proses politik yang disebut dengan “deliberasi publik”, atau perdebatan publik. Sebelum sebuah hukum ditetapkan oleh parleman melalui proses yang disebut “enactment“, ia harus diuji terlebih dulu melalui perdebatan publik.
Ini berbeda dengan hukum syariat yang dirumuskan secara “sepihak” oleh oligarki sarjana ahli hukum agama (disebut dengan “fuqaha”, bentuk jamak dari kata “faqih”). Hukum syariat seperti kita kenal dalam Islam mempunyai ciri khas yang lebih elitis ketimbang hukum sekuler dalam negara demokrasi modern.
Beda yang lain: hukum sekuler bisa dipersoalkan dan diperdebatkan tanpa yang bersangkutan khawatir dituduh kafir atau murtad. Ini berbeda dengan hukum syariat yang mengkleim berasal dari Tuhan sehingga siapa saja yang mencoba mempersoalkannya bisa terkena tuduhan kafir. Hukum syariat rentan menjadi lahan subur untuk tumbuhnya otoritarianisme politik (meskipun tidak selalu demikian), persis karena kleimnya sebagai “hukum suci” yang secara umum tak boleh diperdebatkan, terutama aspek-aspek di sana yang dianggap “qath’i” atau pasti.
MASALAH yang selalu menghantui pikiran orang beragama, terutama Islam, adalah masalah seks dan perempuan. Orang beragama berasumsi bahwa tanpa hukum dan moralitas agama, kehidupan seksual manusia akan kacau balau. Apakah asumsi ini benar?
Saya khawatir, umat Islam diam-diam mempunyai anggapan bahwa jika perempuan tak memakai pakaian yang menutup aurat, maka dia akan dimangsa oleh laki-laki, seperti ayam betina dimangsa oleh ayam jago di sembarang tempat.
Sementara itu, aurat perempuan, menurut hukum Islam yang “standar”, adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan demikian, perempuan yang berpakaian sopan dan rapi tetapi tidak menutup seluruh tubuhnya (misalnya rambutnya masih tampak kelihatan), dia dianggap sebagai tak menutup aurat. Seorang imam dari Australia yang berasal dari Mesir pernah melontarkan statemen beberapa waktu lalu bahwa seorang perempuan yang tak menutup seluruh tubuhya, “head-to-toe” , sama dengan daging yang tak ditutup. Maksudnya, rawan dirubung “lalat”.
Mari kita tinjau sekali lagi fakta-fakta empiris di lapangan. Apakah betul demikian?
Tengok saja kehidupan sehari-hari di kota Jakarta, tak usah terlalu jauh ke negeri normal seperti Amerika atau Eropa Barat. Lihatlah para perempuan yang bekerja di kantor-kantor, baik pemerintah atau swasta. Sebagian besar mereka mamakai baju biasa, bukan baju penutup aurat seperti dikehendaki oleh hukum Islam. Apakah perempuan-perempuan itu langsung menjadi “mangsa” laki-laki? Apakah kehidupan seksual manusia Jakarta langsung kacau-balau?
Meskipun tingkat keamanan di kota Jakarta tak sebaik di Boston, misalnya, tetapi kita menyaksikan sendiri bagaimana perempuan bisa berjalan dengan aman di tempat-tempat umum, walaupun tak memakai baju yang menutup seluruh aurat. Memang ada insiden di sana-sini, misalnya pemerkosaan. Tetapi secara umum, ruang publik di kota Jakarta dan kota-kota lain sangat aman bagi perempuan, walaupun mereka tak memakai pakaian yang sesuai dengan tuntutan hukum Islam mengenai aurat.
Saya sudah pernah menulis bahwa asumsi sebagian umat Islam begitu buruknya sehingga memandang laki-laki seolah-olah sebagai “binatang buas” yang haus seks, seolah-olah jika melihat perempuan yang tak menutup aurat akan langsung menerkamnya dan ingin bersetubuh dengannya “on the spot“. Sebegitu burukkah asumsi umat beragama yang konon menganggap manusia sebagai “citra Tuhan”, imago Dei (dalam Quran ditegaskan “tsumma sawwahu wa nafakha fihi min ruhihi” QS 32:9)?
Jangan salah paham. Isteri saya memakai jilbab, karena, berdasarkan tradisi di mana ia tumbuh, jilbab dianggap sebagai pakaian yang bisa menjaga martabat perempuan. Tetapi isteri saya tidak menganggap bahwa pakaian-pakaian lain di luar jilbab tidak bisa menjaga kehormatan perempuan dan kepantasan publik.
DENGAN menulis ini semua bukan berarti saya anti-agama. Saya tetap seorang Muslim. Tetapi saya mencoba menjadi seorang beragama yang rendah hati. Saya beragama, tetapi tak menganggap bahwa agama adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang tertib. Oleh karena itu, saya menghormati orang-orang yang agnostik dan ateis, dan tak beranggapan bahwa manusia yang agnostik akan dengan sendirinya menjadi manusia bejat.
Saya berteman dengan banyak orang-orang yang agnostik: mereka tak kalah humanisnya dengan manusia beragama. Mereka manusia yang bermartabat dan menghormati manusia lain. Bahkan dalam banyak hal, mereka jauh lebih humanis ketimbang manusia beragama.
Bagaimana anda bisa menjelaskan tingkah-laku orang yang konon beragama tetapi menyerang secara fisik, membunuhi, dan mempersekusi orang-orang yang berbeda pandangan dan keyakinan seperti dilakukan oleh orang-orang beragama, sebagaimana kita baca dalam sejarah Kristen dan Islam selama ini?
Yang menarik, hanya di negeri sekulerlah semua agama dan sekte dijamin dengan bebas. Semua sekte dan mazhab bisa mekar dengan bebas di tanah Amerika, misalnya. Sementara di negeri-negeri yang konon “relijius” seperti Indonesia, hak-hak kaum minoritas seperti Ahmadiyah, misalnya, justru ditindas dengan seenaknya oleh orang-orang yang mengaku beragama.
Saya harus menambahkan catatan sebagai “caveat” untuk surat saya ini. Istilah “agama” di sini saya pakai dalam konteks yang terbatas, yaitu agama sebagaimana ditafsirkan oleh orang-orang bigot, fanatik, dan totaliter.
Saya ingin menutup surat ini dengan mengatakan bahwa setiap bentuk “bigotry”, fanatisme, dan totalitarianisme adalah jahat dan berlawanan dengan akal sehat manusia, entah sumbernya dari agama atau non-agama. Totalitarianisme dan fanatisme agama sama saja bahanya dengan totalitarianisme sekuler seperti dipraktekkan oleh Nazi dan sistem totaliter di Uni Soviet dulu. Di mata saya, kaum bigot dan totaliter di mana-mana sama saja: mereka adalah ancaman bagi manusia.
Mohon maaf jika surat saya ini terlalu berkepanjangan dan membosankan.[]

Jumat, 25 November 2011

Surga atau Neraka!

Surga atau Neraka

Al-Miqdad bin al-Aswad radhiallahu’anhu bercerita, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari kiamat nanti matahari turun mendekati para makhluk hingga hanya berjarang satu mil …  pada saat itu kucuran keringat masing-masing manusia tergantung amalannya; di antara mereka ada yang keringatnya sampai mata kakinya, ada pula yang keringatnya sampai lututnya, ada yang keringatnya sampai perutnya serta ada yang tenggelam dalam keringatnya sendiri!’” (HR. Muslim).
***

30 TAHUN ANDA BERUJUNG SURGA ATAUKAH NERAKA

KHUTBAH PERTAMA
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَجَعَلَ لِلْوُصُوْلِ إِلَيْهِ طَرَائِقَ وَاضِحَةً وَسُبُلاً , وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ , شَهَادَةً نَرْجُوْبِهَا عَالِيَ الْجَنَّاتِ نُزُلاً , وَنَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ , أَقْوَمُ الْخَلْقِ دِيْنًا وَأَهْدَاهُمْ سُبُلاً , صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ , وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
Jamaah Jumat rahimakumullah
Mari kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Ta’ala dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya; yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jamaah Jumat yang dirahmati oleh Allah
Di saat Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki terjadinya hari kiamat, Dia pun memerintahkan Malaikat Israfil untuk meniup sangkakalanya dua kali. Tiupan pertama sebagai pertanda untuk membinasakan seluruh makhluk yang ada di bumi dan langit, sedangkan tiupan kedua untuk membangkitkan mereka kembali. Allah Ta’ala berfirman,
وَنُفِخَ فِي الصُّورِ فَصَعِقَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَمَن فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ مَن شَآءَ اللهُ ثُمَّ نُفِخَ فِيهِ أُخْرَى فَإِذَا هُمْ ِقيَامٌ يَنظُرُونَ

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing).” (QS. Az-Zumar: 68).

Maka, setelah Malaikat Israfil meniupkan sangkakala yang kedua kalinya, semua makhluk pun dibangkitkan dari kuburnya oleh Allah Ta’ala, lalu mereka dikumpulkan dalam suatu padang yang amat luas yang rata dengan tanah dalam keadaan tidak berpakaian, tidak memakai sandal, tidak berkhitan, dan tidak membawa sesuatu apa pun. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Pada hari kiamat nanti manusia akan dikumpulkan dalam keadaan tidak memakai sandal, tidak berpakaian, dan dalam keadaan belum berkhitan. Aisyah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kaum pria dan wanita (berkumpul pada satu tempat semuanya dalam keadaan tidak berbusana?!) apakah mereka tidak saling melihat satu sama lain?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Wahai Aisyah, kondisi saat itu amat mengerikan sehingga tidak terbetik sedikit pun dalam diri mereka untuk melihat satu sama lain!’.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ya, saat itu masing-masing dari mereka memikirkan dirinya sendiri dan tidak sempat untuk memikirkan orang lain, meskipun itu adalah orang terdekat mereka. Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ {34} وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ {35} وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ {36} لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ {37
Pada hari itu manusia lari dari saudaranya. Dari bapak dan ibunya. Dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (QS. Abasa: 34-37)
Semua manusia saat itu berada di dalam ketidakpastian. Masing-masing menunggu apakah ia termasuk orang-orang yang beruntung, dimasukkan ke taman-taman surga atau termasuk orang yang merugi terjerembab ke dalam jurang neraka.
Dalam kondisi seperti itu Allah Ta’ala mendekatkan matahari sedekat-dekatnya di atas kepala para hamba-Nya, hingga panasnya sinar matahari yang luar biasa itu mengakibatkan keringat mereka bercucuran.

Al-Miqdad bin al-Aswad radhiallahu’anhu bercerita, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Pada hari kiamat nanti matahari turun mendekati para makhluk hingga hanya berjarang satu mil …  pada saat itu kucuran keringat masing-masing manusia tergantung amalannya; di antara mereka ada yang keringatnya sampai mata kakinya, ada pula yang keringatnya sampai lututnya, ada yang keringatnya sampai perutnya serta ada yang tenggelam dalam keringatnya sendiri!’” (HR. Muslim).

Demikianlah para manusia saat itu berada di dalam kesusahan, kebingungan, dan ketidakpastian yang tiada bandingannya. Padahal satu hari pada saat itu bagaikan 50 ribu tahun hari-hari dunia! Allah Ta’ala berfirman,
تَعْرُجُ الْمَلاَئِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Allah dalanm sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij: 4)
Jamaah Jumat yang kami hormati
Seandainya kita mau berpikir, betapa mengerikannya hari-hari itu lantas kita merenungkan jalan hidup kebanyakan manusia di dunia yang kita lihat selama ini, niscaya kita akan sadar betul bahwa ternyata masih banyak di antara kita yang telah terlena dengan keindahan dunia yang semu ini dan lupa bahwa setelah kehidupan dunia yang sementara ini masih ada kehidupan lain yang kekal abadi yang lamanya satu hari di sana sama dengan 50 ribu tahun di dunia!
Kita telah terlena dengan gemerlapnya dunia dan lupa untuk beribadah kepada Allah dan beramal salih. Padahal pada hakikatnya kita hanya diminta untuk beramal selama 30 tahun saja! Tidak lebih dari itu. Suatu waktu yang amat singkat!

Ya, kalaupun umur kita 60 tahun, sebenarnya kita hanya diminta beramal selama 30 tahun. Karena waktu tersebut dikurangi dengan masa tidur kita di dunia. Jika dalam satu hari adalah 8 jam, berarti masa tidur kita adalah sepertiga dari umur kita yaitu: 20 tahun. Lalu kita kurangi lagi dengan masa kita sebelum baligh. Masa dimana seseorang tidak berkewajiban untuk beramal. Taruhlah jika kita baligh pada umur 10 tahun berarti, umur kita hanya tinggal 30 tahun!

Subhanallah, bayangkan! pada hakikatnya kita diperintahkan untuk bersusah payah dalam beramal salih di dunia hanya selama 30 tahun saja! Alangkah naifnya jika kita enggan untuk bersusah payah selama 30 tahun di dunia beramal shalih, sehingga akan berakibat kita mendapat siksaan yang amat pedih di akhirat selama puluhan ribu tahun!
Allah telah memperingatkan supaya kita tidak tertipu dengan kehidupan duniawi yang fana ini dalam firman-Nya,
يَآأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الْغُرُور
Wahai para manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdaya kalian, dan janganlah sekali-kali (setan) yang pandai menipu, memperdayakan kalian dari Allah.” (QS. Fathir: 5)
Mengapa orang yang tertipu dengan kehidupan duniawi benar-benar telah merugi? Karena kenikmatan dunia seisinya tidak lebih berharga di sisi Allah dari sebuah sayap seekor nyamuk!
Sahl bin Sa’d bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya dunia sepadan dengan (harga) sayap seekor nyamuk, niscaya orang kafir tidak akan mendapatkan (kenikmatan dunia meskipun hanya seteguk) air.” (HR. Tirmidzi, dia berkata, “Sahih gharib min hadzal wajhi.”).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ , وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلأَيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ , أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ الله َلِيْ وَلَكُمْ وَلِكَافَةِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ , فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِيْنُهُ وَ نَسْتَغْفِرُهُ وَ نَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَاِلنَا  مَنْ يَهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَ مَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا
Jamaah Jumat rahimakumullah
Maka, mari kita manfaatkan kehidupan dunia yang hanya sementara ini untuk benar-benar beribadah kepada Allah Ta’ala, mulai dari mencari ilmu, shalat lima waktu, berbakti kepada orang tua, berbuat baik kepada sesama terutama tetangga, mendidik keluarga sebaik-baiknya, dll. Juga berusaha untuk menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang disebutkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya,
وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَآ أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّايَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِن نَّصِيرٍ
Dan mereka berteriak di dalam neraka itu: ‘Ya Rabb kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amalan sholih berlainan dengan apa yang telah kami kerjakan.’ Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup bagi orang yang mau berpikir?! Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang zhalim seorang penolong pun.” (QS. Fathir: 37).
Namun, mereka tidak akan mungkin bisa kembali lagi ke dunia. Demikian pula mereka tidak akan mati di neraka. Allah Ta’ala bercerita,
وَنَادَوْا يَامَالِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَ قَالَ إِنَّكُم مَّاكِثُونَ {77} لقَدَ ْجِئْنَاكُم بِالْحَقِّ وَلَكِنَّ أَكْثَرَكُمْ لِلْحَقِّ كَارِهُونَ {78
Mereka berseru: ‘Wahai Malik, biarlah Rabb-Mu membunuh kami saja.’ Dia menjawab: ‘Kalian akan tetap tinggal (di neraka ini). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kalian, namun kebanyakan kalian benci terhadap kebenaran tersebut.” (QS. Az-Zukhruf: 77-78).
Jangankan untuk menghentikan siksaan, untuk mendapatkan setetes air pun mereka tidak bisa. Allah Ta’ala mengisahkan,
وَنَادَى أَصْحَابُ النَّارِ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ أَنْ أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَآءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ قَالُوا إِنَّ اللهَ حَرَّمَهُمَا عَلَى الْكَافِرِينَ {50} الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَآءَ يَوْمِهِمْ هَذَا وَمَاكَانُوا بِئَايَاتِنَا يَجْحَدُونَ {51
Dan penghuni neraka menyeru penghuni surga: ‘Berilah kami sedikit air atau makanan yang telah diberikan Allah kepada kalian.’ Mereka (penghuni surga) menjawab: ‘Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya itu atas orang-orang kafir.’ (Yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka. Maka pada hari (kiamat) ini Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini dan (sebagaimana) mereka lalu mengingkari ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A’raf: 50-51)
Semoga kita semua bukan termasuk golongan tersebut di atas, Amiin ya Rabbal ‘alamin.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلاَّ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَحِيمٌ
رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْراً كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلا تُحَمِّلْنَا مَا لا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ, وَأَقِمِ الصَّلاَة

Senin, 07 November 2011

"human relationship perawat"